Santun menurut Alquran
Alquran diturunkan kepada manusia yang
memiliki sifat sebagai makhluk yang memerlukan komunikasi. Oleh karena
itu, Alquran memberikan tuntunan berkomunikasi, khususnya berbahasa bagi
manusia. Dalam hal berkomunikasi, ajaran Islam memberi penekanan pada
nilai sosial, religius, dan budaya.
Dalam ungkapan lain dapat
dikatakan bahwa berbahasa santun menurut ajaran Islam tidak dipisahkan
dengan nilai dan norma sosial budaya dan norma-norma agama. Kesantunan
berbahasa dalam Alquran berkaitan dengan cara pengucapan, perilaku, dan
kosakata yang santun serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi
(lingkungan) penutur, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat berikut:
“..dan lunakkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah
suara himar.” (QS. Lukman: 19)
Melunakkan suara dalam ayat di
atas mengandung pengertian cara penyampaian ungkapan yang tidak keras
atau kasar, sehingga misi yang disampaikan bukan hanya dapat dipahami
saja, tetapi juga dapat diserap dan dihayati maknanya. Adapun
perumpamaan suara yang buruk digambarkan pada suara himar karena
binatang ini terkenal di kalangan orang Arab adalah binatang yang
bersuara jelek dan tidak enak didengar.
Ayat di atas
mengisyaratkan bahwa Alquran mendorong manusia untuk berkata santun
dalam menyampaikan pikirannya kepada orang lain. Kesantunan tersebut
merupakan gambaran dari manusia yang memiliki kepribadian yang tinggi,
sedangkan orang yang tidak santun dipadankan dengan binatang.
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah,
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertaqwa.” (QS. Al-Hujurat: 3)
Merendahkan suara
Ayat
tersebut di atas menjelaskan bahwa berbahasa santun adalah mengucapkan
kata-kata dengan cara merendahkan suara. Suara yang rendah (tidak dengan
suara lantang atau keras) merupakan gambaran hati yang halus dan
lembut. Hati yang lembut dan jernih adalah bagian dari ciri orang yang
bertakwa. Ayat ini memiliki makna bahwa bersuara rendah ketika berbicara
dengan orang yang dihormati merupakan bentuk ciri berbahasa yang
menggambarkan orang yang takwa.
Dalam ayat yang lain Alquran
menyebutkan: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua
orang tua perkataan `ah’ dan jangan kamu membentak mereka, dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra: 23). Dalam
ayat ini kesantunan berkaitan dengan orang yang diajak berbicara.
Pembicaraan yang santun adalah pembicaraan yang sesuai dengan orang,
situasi, dan kondisi lingkungan yang diajak bicara.
Bicara
dengan orang tua dilakukan dengan menempatkan mereka pada posisi yang
tinggi dan terhormat karena pemilihan kata dan cara mengatakannya
disesuaikan dengan kehormatan yang dimilikinya. Jadi, kata ‘ah’ saja
dalam berbicara dengan orang tua merupakan perkataan terlarang atau
tidak santun. Oleh karena itu, dalam konteks ini tutur kata yang
dianjurkan adalah kata-kata yang berkonotasi memuliakan kedua orang
tua.
Hampir setiap bahasa mengenal prinsip tingkat tutur.
Tingkat tutur inilah yang sangat lekat dengan kesantunan berbahasa.
Bahasa Aceh misalnya, dikenal penyebutan orang kedua tunggal untuk kata
engkau dengan droen, kah, kei (cakapan). Pilihan bentuk kata sapaan
tersebut sangat bergantung pada siapa yang berbicara kepada siapa dalam
situasi seperti apa. Inilah hakikat tingkat tutur atau dikenal juga
dengan istilah stratifikasi bahasa atau unda usuk.
Menurut
Fatimah Djajasudarma, seorang linguis atau pakar bahasa, dikatakan bahwa
bahasa daerah digunakan sebagai alat batin yang merupakan paduan akal
dan perasaan untuk menimbang baik buruk suatu norma kehidupan. Bahasa
daerah memiliki unsur-unsur yang mengacu kepada tingkah laku
masyarakatnya (budaya daerah). Unsur budaya yang disebut tingkat tutur,
ungkapan, dan peribahasa. Dipertimbangkan atas segi tingkat tutur dengan
pemahaman budi pekerti adalah tingkah laku, perangai, akhlak, watak.
Penekanan budi sendiri adalah alat batin (budaya nonmateri) yang
merupakan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk.
Tingkat tutur dengan demikian memiliki hubungan dengan budi pekerti.
Tingkat tutur inilah yang semula dianggap sebagai unsur feodalisme dan
berdampak terhadap kehidupan birokrasi di Indonesia. Perkembangan lebih
lanjut unsur ini dapat pula dianggap sebagai suatu kesantunan dalam
berbahasa (berbudaya) yang menyangkut budi pekerti. Oleh karena itu,
bila orang berbahasa tidak dengan santun akan dikatakan “tidak tahu budi
bahasa”. Ekspresi tersebut sebagai hasil nyata dari tingkah laku
(budaya) yang berhubungan dengan budi pekerti.
Nilai agama dan budaya
Dalam
pembinaan bahasa santun, isi pendidikannya adalah nilai-nilai yang
dipegang secara kokoh oleh masyarakat, yaitu nilai agama dan nilai
budaya. Bahasa seperti itu akan sesuai dengan nilai-nilai budaya
masyarakat penuturnya karena sifat agama memberikan nilai-nilai dasar
bagi manusia di mana pun dan kapan pun manusia berada. Pada masyarakat
Indonesia yang mayoritas beragama Islam, norma yang digunakan masyarakat
merujuk pada nilai-nilai keislaman.
Dengan demikian dapat
diambil sebuah garis besar bahwa cara pengungkapan bahasa yang baik
menurut Alquran sejalan dengan pengertian berbahasa santun, bahkan
memperluas dan mengembangkannya secara operasional sehingga bahasa
santun yang bersifat normatif dapat dipelajari dan dilaksanakan karena
karakteristiknya sangat jelas.
Pada konteks keacehan, mampukah
bahasa Aceh menjelmakan dirinya menjadi medium komunikasi yang santun?
Jawabannya adalah mampu. Hal ini karena bahasa Aceh lahir dan terbentuk
dari budaya yang ada di dalam komunitas penutur bahasa Aceh. Setiap
komunitas di manapun selalu mencirikan dirinya pada aspek-aspek
kesantunan karena pada dasarnya setiap manusia yang normal adalah jiwa
yang memiliki kesalehan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar